Karena Tekad, Aku Nekat !
Aku melangkah gontai menuju rumah. Barusaja kuambil surat pengumuman
kelulusan MA. Bukan, bukan karena aku tak lulus. Bukan pula karena nilaiku
dibawah rata-rata dan ayah ibu akan memarahiku. Bukan semua itu yang membuatku
risau dalam perjalananku pulang.
“kamu udah
pulang nak?” ada semburat kecemasan
dalam wajah ibu saat menyambut anaknya yang sulung ini.
“ iya sudah bu,
ini surat pengumumannya bu” aku
menyodorkan amplop putih berkop sekolahku, MA MINAT 01 CILACAP. Kuambil posisi
duduk disamping ibuku dengan wajah melas.
“kamu kenapa
nak? Kalo kamu nggak lulus, tak usah bersedih. Ibu dan ayah tak akan marah” ibu
mengelus kepalaku. Ah ibu, tak ada tangan yang lebih menenangkan dibanding
tanganmu bu. Mahasuci Allah yang menciptakan tangan tangan selembut beliau.
Aku diam saja, tak
menanggapi pertanyaan ibu. Ibu yag penasaran segera membuka amlop putih itu.
Kulihat senyumnya mengembang tatkala melihat kata “TIDAK LULUS” tercoret
disurat itu.
“kamu lulus
nak, terus kenapa kamu bersedih sayang?”
“Qiya pengin
kuliah bu” kulihat wajah ibu
langsung murung. Aku tahu ibu pasti bingung. Jelas saja ibu bingung, kami bukan
dari keluarga mampu sedang aku masih punya tiga adik yang masih sekolah. Selalu
saja masalah ekonomi yang mengancam pendidikan pendidikan anak anak buruh tani
di Indonesia semacam kami ini.
“ nanti kita
bicarakan sama ayah yah”
“iya bu, Qiya kekamar
dulu bu” ibu mengangguk lemas.
Dari dalam kamar
kuintip ibu dari celah celah tembok kamarku yang masih terbuat dari kepang yang
terbuat dari bambu. Kulihat beliau masih terdiam didepan kamarku. Kulihat
airmatanya menetes. Ini membuatku merasa bersalah. Pasti beliau sedang
memikirkan permintaanku yang dianggap “aneh” ini. Keinginanku untuk
kuliah sangatlah besar. Aku ingin mengubah keluarga kecilku ini menjadi lebih
baik. Aku ingin menjadi orang sukses dan bisa mensukseskan adik adikku. Aku
yakin Allah merestuinya. Kini tinggal bagaimana aku berusaha dan terus berdoa.
***
Malam ini terjadi
perbincangan serius antara aku, ayah dan ibuku. Yeah… kami sedang membahas
keinginanku untuk kuliah. Kulihat lagi ekspresi murung malam ini. Bukan hanya diwajah ibu tapi
juga diwajah ayah. Aku semakin merasa bersalah memiliki keinginan aneh ini.
Tapi aku telah yakin aku akan bisa kuliah bagaimanapun itu.
“ibu nggak
keberatan kalo kamu kulaih nak, soal biaya nanti bisa kita pikirkan lagi. Biar
nanti ibu juga ikut kerja untuk tambah tambah uang buat kamu kuliah. Memangnya
kamu mau kuliah dimana nduk?
“ di UINSA bu, di
Surabaya. Qiya pengin ambil jurusan Bimbingan Konseling”
“doakan ibu nduk
supaya ibu punya uang buat kamu kuliah,tapi maafkan ibu mungkin kamu bisa
kuliah baru tahun depan. Untuk tahun ini biarkan ibu mengumpulkan uang dulu
untuk biayanya, Surabaya jauh sekali nak dari Cilacap” aku masih melihat ayah yang belum angkat bicara.
“ iya nggakpapa
bu, kalo ayah gimana?” kutatap wajah ayah. Ada air yang siap menetes dari
dua bola mata yang menyejukan itu. Oh betapa besar karunia tuhan menciptakan
makhluk panutan seperti ayah ibuku.
“ ayah ikut
keputusan ibu saja nak”
“ kalo Qiya kuliah
tahun ini saja gimana bu? Nanti biar Qiya disana sekalian kerja untuk
meringankan biaya kuliah Qiya”
“kamu mau kerja
apa nduk? Kamu itu perempuan satu satunya yag dimiliki ibu. Surabaya itu bukan
Cilacap nduk, toh kamu sendirian disana” naluri seorang ibu pasti akan mencegahku melakukan hal yang mungkin
menurut beliau “konyol” ini.
“nggak bu, Qiya
nggak sendirian. Qiya punya kaka kelas yang sudah kuliah disana. Dan dia juga
bekerja disana bu, dia bisa membiayai kuliahnya dengan biaya sendiri. Dan dia
siap membantuku bu, izinkan anakmu ya bu”
“ nggak nak ibu
nggak mengizinkannya!!!” ibu
berkata dengan suara keras. Sungguh, baru kali ini ibu menggertakku setelah
kejadian 8 tahun yang lalu saat ibu mengetahuiku mencuri tebu diladang pak
lurah.
Brakkk!!!
Ibu membanting
keras pintu kamarnya. Hatiku semakin miris, sangat miris.
“pikirkan baik
baik keinginanmu nak, biar ayah yang ngomong sama ibu” ayah beranjak dan
mengelus jilbabku.
Malam ini aku tak
bisa tidur. Kulihat kota Surabaya, yang katanya mempunyai taman terbaik se-Asia
itu sedang menari nari dilangit langit kamarku. Kututup wajahku dengan bantal.
Ah bayangan kota itu kini menari dibantalku. Kubuka jendela, berharap angin
malam mengusir bayangan kota itu. Tetap saja, malah kini bayangan itu menari
diantara bintang bintang yang berkelip. Ah sudah seperti Ayu Tingting saja ini
kota! Berpindah pindah panggung tarian. Huhh
***
Untuk mengisi
kekosongan hari liburku aku membantu ayah disawah yang sebelum itu kubantu ibu
menyiapkan keperluan untuk adik adiku sekolah. Melihat ketiga adikku serasa ada
beban yang harus kutanggung dipundaku. Kewajibanku sebagai anak sulung untuk
membahagiakan dan mensukseskan mereka.
Siang ini aku
mendapatkan pelajaran tiada tara dari panasnya sang terik siang ini. Sungguh,
perjuangan ayah mencari uang itu tak segampang yang aku bayangkan. Aku yang tak
biasa terkena panas sangat berpeluh bahkan jilbab yang kukenakan sudah terasa
seperti lautan keringat asinku. Bagaimana mungkin ayah kuat dengan terik
seperti ini?
“kalo cape,
pulang saja sanah Qi… kasian ayah melihat kamu. Bantu saja ibu bikin makanan
dirumah” aku tersenyum menyambut
perkataan ayah. Yah memang itu yang aku harapkan.
“ hehe Qiya
pulang dulu ya yah”
Ayah tersenyum
saja melihatku yang telah berlumur keringat. Untuk besok harinya mending aku
dirumah saja membantu ibu yang untuk kali ini memang sedang mendapat pesanan
bikin kue untuk hajatan tetangga.
Tapi ibu masih
bungkam perihal rencana nekatku untuk hidup di Surabaya dengan kerja sendiri.
Meskipun aku telah begitu nekat tetap saja aku tak berani melangkahi kehendak
orangtua. Padahal 3 minggu lagi pendaftaran gelombang satu akan ditutup. Aku
sudah tak tahu lagi apa yang aku lakukan sekarang. Aku hanya berharap pada
pertolongan Allah untuk menggerakan hati ibuku untuk mengizinkan aku untuk
pergi ke Surabaya.
Hari hari kujalani
dengan membantu ibu merawat rumah, menyiapkan makanan, dan sesekali membuat kue
jika memang ada pesanan. Hingga akhirnya tanggal penutupan pendaftaran tinggal
3 hari lagi sedang aku belum juga mendapatkan keputusan dari ayah ibu. Memang
sih ibu sudah tak lagi “berdiam” padaku, hanya saja aku belum berani lagi untuk
menanyakannya. Aku takut, sangat takut ibu akan marah. Aku dilema, teramat
dilema hingga aku tak berniat lagi makan delima yang ayah petikan dari kebun
belakang rumah.
***
Ini adalah malam
hari terakhir pendaftaran. Tapi malam ini telah memberiku keputusan, yeah aku akan
bertekad untuk menanyakan kembali pada ibu perihal pengizinanku merantau di
provinsi tetangga.
Lihatlah, mentari
sedang mengolok olokku dari balik jendelaku yang telah terbuka. Mentari itu
mengejekku yang ternyata kalah saing dalam menyambut dunia. Aku kesiangan!
Ah memalukan sekali. Dan ternyata rumah sederhanaku telah sepi dari penghuni
penghuni yang memang diajarkan untuk hidup sederhana. Langsung saja kubuka
tutup makanan, bangun kesiangan ternyata membuatku kelaparan. Tapi anehnya
dibalik tutup tak ada hal yang kucari. Hanya kutemukan kertas yang entah
tulisan apa.
“ibu
izinkan km ke Surabaya nak, uangnya ada di amplop. Sekarang pergilah, bukankah
hari ini terkhir pendaftaran?”
Aku tak percaya
itu tulisan ibu. Ini lebih dari makanan yang kucari untuk mengganjal perutku.
Langsung saja kuraih amplop itu dan langsung ke warnet untuk mendaftarkan diri
secra online dan ke bank BRI untuk membayar biaya pendaftarannya. Seminggu lagi
aku test masuk kuliah. Oh senangnya… lihatlah mentari yang tadi pagi mengolok
olokku pun ikut tersenyum melihat kegembiraanku. Terimakasih Allah…..
Karena
tekad, aku nekat. Tekadku yang telah tertancap begitu kuat membuat aku
tak peduli apapun yang akan terjadi disana nanti. Aku nekat untuk menggapai
tekadku. Yang pasti dengan dorongan orangtua. Hari ini, aku berangkat untuk
mengikuti test masuk kampus UINSA. Tapi selepas selesei test aku tak langsung
pulang. Aku akan langsung mencari kerjaan untuk membiayai hidupku dikota orang.
Ibu telah mengizinkan aku pula jika aku ingin kerja bersama kaka kelasku,
setelah ibu dengan diam diam menghubungi kaka kelas yang kuceritakan itu. Ah
ibu, dalam diammu kau tak sepenuhnya diam.
***
Sebulan yang lalu
kulewati test masuk. Dan kini aku telah bekerja disebuah Laundry tak jauh dari
kampusku. Disini aku ikut kaka kelas. Ditempat laundry inilah akan
kuperjuangkan hidupku. Entah mengapa aku begitu optimis akan diterima di UINSA
ini yang pasti dengan jurusan impianku, Bimbingan Konseling Islam. Besok adalah
hari pengumuman hasil testnya. Hatiku berdebar, rasanya lebih berdebar saat ini
disbanding saat kulihat Huda, orang yang pernah membuat hatiku berdebar itu
mengajakku ke perpustakaan bareng waktu itu.
Aku telah siap
berangkat ke warnet guna melihat pengumuman hasil tes SBMPTAIN ku. Hpku berdering,
ada telephone masuk dari rumah pasti ibu telah khawatir menanyakan pengumuman
itu.
“assalamu’alaikum
bu”
“wa’alaikumussalam
nak,kamu pulang yah”
“ kenapa bu? Qiya
baru saja mau pergi ke warnet”
“kamu pulang nak,
kamu harus pulang” ada nada tangis diantara kata kata ibu yang
kudengar.
“ibu, bu”
Ah sambungan terputus. Ada perasaan tak enak. Aku harus pulang
sekarang. Tak mungkin ibu menyuruh pulang tanpa alasan. Langsung kupergi ke
terminal Bungurasih kebetulan jadwal
bis Rosalia Indah beberapa jam lagi akan berangkat. Gajihan pertamaku bulan ini
terpaksa harus kupakai untuk pulang.
Kulihat rumahku telah ramai. Banyak orang berkerumunan dihalaman
sempit rumahku. Ku menyelinap diantara kerumunan orang orang itu. Kulihat seseorang
terbungkus kain putih. Aku melihat sosok yang begitu kenal sedag terbujur tak
berdaya. Tangisku merebak. Ayaaaahhhh!!!!!!
Aku tak sanggup melihat jasadnya kini tak lagi bernyawa. Tak
sanggup kulihat jasadnya yang tak lagi bernafas. Tak sanggup kulihat wajahnya
yang sudah pucat pasi, matanya terpejam untuk selamanya.
Hari hariku berkabung. Tak lagi ku berniat kembali ke Surabaya. Aku
telah lupa apa itu kuliah. Aku telah lupa apa itu SBMPTAIN. Aku telah lupa
seperti apa itu semangat hidup. Aku hanya ingin satu, menyusul ayah.
“ini surat untukmu dari ayah nduk” ibu yang sudah berminggu minggu tak pernah bicara kini
menghampiriku. Semenjak kematian ayah yang memang sebelum kepergianku ke
Surabaya sudah sering sakit sakitan. Hanya saja ayah tak pandai mengeluh hingga
akhirnya Allah meisahkan beliau dari penakitnya serta memisahkannya dengan
kami.
Kubuka kertas kecil bertuliskan tulisan ayah.
“ kamu harus
terus nekat untuk menggapai tekadmu nak. Bahagiakan ibu dan adik adikmu”
Jika bukan karenamu ayah, aku tak mungkin lagi kenal kata semangat.
Jika bukan karenamu ayah, aku tak akan lagi beranjak dari keterpurukan. Aku
harus bangkit, menggapai tekadku. Ayah, doakan anakmu…. Hari ini aku berangkat.
Aku nekat lagi untuk kembali meraih tekadku. Surabaya, I’am Coming !!!
***
Tujuh semester telah aku lalui. Aku benar benar menggapai tekadku
untuk menyeleseikan kuliah. Alhamdulillah, aku bisa lulus di semester tujuh.
Aku hampir saja tak percaya aku benar benar menyeleseikan kuliahku dengan hasil
keringatku. Bahkan kini aku sudah active mengirimkan uang untuk sekolah adik
adikku dengan membuka jasa laundry sendiri.
Dan kini, dihari ini, 27 September 2014 aku telah memakai toga yang
dari dulu kuimpikan. Toga ini kupersembahkan untuk ayah ibu serta adik adikku. Terimakasih,
kalianlah yang membuatku beertekad menggapai mimpiku. J
0 komentar:
Posting Komentar