Merah
Putih
Untukmu dan untuk Indonesia
By:
Rizqiya
Malam itu, sang rembulan dengan malu malunya menampakan
sabitnya. Ada suara tangis dari balik gubug yang mulai menua. Suara tangis yang
di sekelilingi oleh senyum bahagia.
Selamat datang adiku, selamat bertemu dengan yang namanya dunia. Sepulang dari karnaval sore tadi mama terus
merengek. Si kecil ingin keluar kata mama. Tapi sampai senja berlalu, setelah
adzan isya berkumandang baru si kecil mulai melentangkan tangisnya. Senyum bahagia
tertara jelas pada wajah ibuku. Aku janji ma, aku akan jadi kakak yang baik
untuk adik perempuanku. Dan aku akan berusaha untuk bisa menjadi ayah untuknya.
Aku janji ma…
Yeah,
ayahku meninggal saat Cindi ( nama untuk adik kecilku yang baru lahir itu)
masih berusia 2 bulan dalam kandungan. Kecelakaan naas membuat beliau tak
bernafas lagi. Sepeda motor yang beliau
tunggangi di tabrak oleh truk tronton. Ah sudahlah… ajal memang sudah di atur
sama yang maha Kuasa. Kini tinggal saatnya membuktikan pada ayah bahwa beliau
punya anak laki laki yang bisa menjaga keluarga kita.
Dan
satu lagi, hari ini hari kemerdekaan Indonesia, kemerdekan kamu juga dik Cindi.
22 Juli 2001
Senin
Ini kau mulai masuk sekolah dik, Sekolah Dasar yang kau impi impikan sejak kamu
kecil. Dan kini aku kelas lima SD. Kami selalu berangkat sekolah bersamaan.
Bergandengan bercanda serta tawa. Selalu saja ada cerita cerita lucu yang
membuat kita tambah akrab. Seringkali kita bermain lumpur di sawah belakang
sekolah yang meski akhirnya kita akan kena marah dari sang mama. Tapi kita
bahagia. Kita selalu bahagia melakukan apapun yang kita lakukan bersama.
Sehabis sekolah kita selalu membantu mama meski itu hanya membungusi kue kue
yang akan mama jual keliling nanti. Beberapa bulan setelah lahir Cindi mama
memang jualan kue basah untuk memenuhi pendidikan serta makan kami. Mama selalu
memperhatikan pendidikan kami. Karna mama tak ingin melihat kita jadi orang
yang bodoh nanti. Kita harus pintar ya dik,,,
“kak,
ikut keliling sama ibu yuk.. “ katamu suatu hari sepulang sekolah.
“
ah.. kaka malu dik, nanti kalo ketemu sama temen temen sekolah gimana?”
“
kenapa mesti malu kak? Kan harusnya kita bangga kecil kecil udah cari uang,
mbantuin mama” waktu itu mama hanya tersenyum mendengar ucapan
polosmu dik.
“
kaka nggak mau, sana kamu ajh sendiri dik, “
“
nggak mau, Cindi maunya sama kaka” dia menarik bajuku. Membujukku dengan
sedikit rengekan. Okelah untuk kali ini saja aku ikut.
“
kue kue enak,,, ayo ayo ibu bapak di beli di jamin belgizi” ah suaramu melengking dik, kamu yang belum
sempurna bilang “R”. aku hanya diam saja, bahkan lebih ke menunduk. Aku takut
ketauan teman teman sekolahku.
“ kak, ayo bersuara. Biar orang orang pada
denger kan suara kaka lebih kenceng”
“ nggak mau dik, kaka malu”
“ kenapa harus malu kak? Kan kata mama ini
kebaikan” kau mengajarkan padaku tentang kebaikan dik,
agar kita tak malu melakukan kebaikan. Dan kini aku tak malu lagi meneriakan
dagangan kue mama.
14
Agustus 2001
3
hari lagi hari kemerdekaan Indonesia itu artinya juga hari ulngtahunmu dik.
“
kak, tadi ibuguru bilang, kita di suruh bawa bendera merah putih ke sekolah kak
buat besok tanggal 17” adumu sewaktu
pulang sekolah.
“
iya dik, nanti kita minta uang ke mama buat beli bendera”
Tapi sayangnya ekonomi ibu benar
benar membengkak. Bahkan hanya untuk membeli beras ibu harus hutang duluan pada
warung sebelah. Alamat bendera tak bisa dibeli. Bagaimana caranya aku ngomong
ke Cindi?
“
kak, kaka udah ngomong kan ke mama soal bendera?” skakmat, pertanyaan itu menusuk sungguh dik.
Tapi bagaimanapun juga harus ku katakana. Aku tahu kamu pasti mengerti dik,
kaka tahu kamu anak yang baik.
“
adik kaka tersayang, kamu ngerti ya, kamu jangan marah. Ibu lagi gak punya uang
sayang, mungkin lain kali kita beli benderanya”
“
ya udah kak, nggak papa. Adik gak pake bendera juga nggak papa” kamu dik, selalu saja mengajarkan pada kaka
arti qona’ah.
17
Agustus 2001
“
Tralaa…. Selamat Ulang tahun dik” aku memberinya kejutan untuknya. Ku bawakan
bendera merah putih saat dia baru saja bangun tidur. Kulihat wajahnya terkejut
tapi bahagia.
“makasih
kak, kaka dapet bendera darimana kak?”
“
darimana saja dik, yang penting sekarang kamu bisa ngrayain ulangtahun
Indonesia dengan benderamu” bendera itu aku ingat
bahwa ternyata aku masih memiliki bendera tahun lalu. Meski sudauh lusuh tetap
saja adiku senang.
Sepulang
upacara
“
kak, kok benderanya harus merah putih” tanyamu dengan wajah polosmu dik.
“ Merah Putih itu pusaka Indonesia
dik, warna merah putih memiliki arti tersendiri untuk Indonesia. Merah itu
artinya berani. Berani melawan penjajah yang sudah sekian lama menjajah bangsa
kita. Berani untuk merdeka, dan putih itu artinya suci. Sebagai warga Indonesia
harus punya hati yang suci, bersih dan selalu taat pada tuhan kita” kujelaskan arti merah putih
seperti yang dijelaskan pak guru.
“
ya udah kak, tiap ulangtahunku aku minta di kado bendera merahputih terus ya
kak, biar aku bisa seperti bendera itu, berani dan suci” ku elus rambutmu, Insya Allah akan kuturuti
dik.
14
Agustus 2015
3 hari lagi kemerdekaan
Indonesia. Itu artinya aku harus memberikan bendera merahputih kepadamu dik,
tapi sayangnya kini kau tersungkur lemas di rumah sakit. Tumor yang hidup di
otakmu kini sedang kau lawan. Aku tertunduk lesu dipinggir ranjangmu. Airmataku
menetes melihatmu tersungkur tak berdaya seperti ini dik.
“kak”
“ya dik, kau terbangun? Ingin
minum?”
“nggak kak, Cindi pengin kaka
jangan nangis” kau usapkan airmataku
“ iya dik, kaka nggak akan
nangis”
“kak, sebentar lagi Cindi
ulangtahun”
“ iya dik, kaka janji akan
membelikan bendera yang besar untukmu, seperti yang pernah kau inginkan dik”
“ nggak kak, Cindi nggak pengin
itu, Cindi Cuma minta besok kalo ulangtahun kaka bawakan semua bendera Cindi
yang kaka berikan setiap ulangtahun Cindi ya”
“ ya dik, kaka janji” kau tertidur lagi. Tidur yang pulas dik,,,
semoga kau mimpi indah.
17 Agustus 2014
Hari ini kau di oprasi dik, aku
sungguh sedih dik.
“ kak, mana benderanya? “ tagihmu saat para suster telah
siap membawamu ke ruang oprasi.
“kaka lupa dik, maaf. Kaka janji
setelah adik oprasi kaka bawain benderanya”
“ nggak kak, Cindi pengin
bendera itu sebelum Cindi di oprasi” aku menoleh ke mama. Mama mengangguk. Aku
langsung lari menuju pulang. Membutuhkan
waktu 3 jam untuk samai rumah itu artinya aku akan menghabiskan waktu 6 jam
untuk bolak balik. Oprasi Cindi pun di undur. Mama sempat beradu omong tadi.
Dokter tak setuju jika operasi di undur karna akan berbahaya untuk Cindi. Meski
pada akhirnya dokter memperbolehkannya.
Jalan
macet dikarenakan festival yang sana sini di selenggarakan untuk memperingati
hari kelahiran bangsa Indonesia. Seusai maghrib aku baru bisa kembali lagi ke
rumah sakit.
“Ini
dik, bendera yang kau inginkan” kuserahkan semua bendera bendera itu. Cindi
menciumnya ada airmata yang menetes dan ada doa yang dia mimikan saat wajahnya
bersentuhan dengan kain merahputih yang telah lusuh itu.
“kak”
“iya
dik”
“
seperti merah ini, kita harus berani melawan kerasnya hidup. Adik harus berani
melawan kerasnya tumor ini. Kaka juga harus berani melawan kesedihan kaka. Dan
hati kita juga harus selalu bersih kak, seperti yang pernah kaka katakana waktu
dulu. Kaka jangan sedih yah, seperti Indonesia yang melawan penjajah kita juga
harus berani melawan kesedihan kita”
Aku tak dapat berucap apa apa.
Diam, menangis…
“kak,
salam untuk Indonesia. Jika nanti kaka berkesempatan upacara di Istana Negara.
Sampaikan salam Cindi untuk bendera pusaka itu. Sampaikan juga salam Cindi
untuk Indonesia”
Lalu kau menutup mata. Tertidur
untuk selamanya. Selamat jalan dik, bendera bendera itu akan selalu kaka
kibarkan. Bukan hanya didepan rumah, atau bahkan di Istana Negara tapi juga
kaka kibarkan di hati kaka. Seperti engkau yang selalu menjadi jiwa merahputih. Berani dan suci.
Kini bendera itu kukibarkan disamping pusaramu. Kupersembahkan Merah putih ini
untuk mu dan untuk Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar